Kajian Drooglever sempat
menggegerkan Indonesia, lima tahun silam. Ia mengungkap sejarah integrasi Papua.
JUBI — Hasil penelitian Prof. Pieter J. Drooglever tentang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Papua telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul
“Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri”. Judul aslinya “Daad van Vrije Keuze, de Papuans van Westelijk Nieuw Guinea, en de grenzen van het Zelfbeschichtings recht.”
Saat pertama kali diluncurkan pada seminar Act of Free Choice di Den Haag, 15 November 2005, Drooglever menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan Pepera 1969 adalah suatu manipulasi sejarah Orang Papua.
Buku yang diterjemahkan oleh Dr. Johanes Riberu setebal 300 lebih halaman, ternyata laris manis di toko buku terbesar di Jakarta. “Saya heran buku ini bisa habis di pasaran, termasuk Jakarta,” ujar Dr. Benny Giay pada JUBI usai peluncuran buku “Memanusiakan Manusia” belum lama ini di Kotaraja, Jayapura.
Menurut Giay, buku ini sebenarnya berisikan banyak pengalaman Orang Papua saat pelaksanaan Pepera Tahun 1969. Baginya, kalau buku terjemahan Drooglever laris karena kebutuhan pengetahuan pembaca tak soal, tetapi sangat disayangkan jika ternyata diborong oleh institusi tertentu sambil tertawa lepas. “Tapi, yang jelas kitorang harus respon terhadap buku-buku yang memuat sejarah dari Orang Papua,” kata Benny Giay mengingatkan generasi muda Papua untuk terus berkarya dalam meningkatkan kemampuan menulis.
Buku setebal 700 halaman dengan 14 bab merupakan hasil penelitian dari Prof. Drooglever pada Tahun 1999 atas perintah Menlu Jozias van Aartsen, yang diamanatkan pula oleh Parlemen Belanda. Penugasan kepada Profesor Sejarah itu tidak lepas dari suatu gerakan politik Belanda, terutama Partai Gereformeed Politiek Verbond atau Christen Unie.
Bagi Dr. Karl Phill Erari, ada dua konteks yang mendorong Prof. Drooglever melakukanpenelitian. Pertama, karena Kongres II Rakyat Papua, Mei 1999, mendesak perlunya pelurusan sejarah, karena Rakyat Papua merasa jalan sejarahnya menuju kemerdekaan sebagai suatu bangsa telah dibelokkan oleh kepentingan politik Jakarta.
Bahkan (Alm) Theys Hiyo Eluay berkali-kali dalam pernyataan politiknya selalu mengumandangkan perlunya meluruskan sejarah Orang Papua yang telah dibengkokkan dan perlu dilakukan peninjauan kembali.
Kedua, tampilnya Gus Dur sebagai Pemimpin Indonesia yang lebih demokratis.
Drooglever menyebut Sekjen PBB waktu itu, U Thant, dalam laporan akhirnya kepada Majelis Umum PBB, tak punya pilihan lain kecuali menyimpulkan Pepera 1969 adalah suatu penentuan pendapat rakyat. Dijelaskan, sebetulnya dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962 diputuskan suatu proses plebisit, tapi belakangan diubah menjadi the act of free choice, yakni hak untuk menentukan nasib Papua. Masalahnya ialah Ortiz Sans, yang ditugaskan PBB sebagai pengawas Pepera, meragukan the act of free choice itu dapat dilakukan oleh penguasa Indonesia. Artinya, apakah benar-benar sesuai dengan azas yang diakui dunia internasional. Ortiz Sans menyatakan proses itu bukan suatu act of free choice. Jadi dia mengambil jarak terhadap apa yang terjadi di Papua dan sikap itu juga diambil oleh Sekjen PBB, U Thant. Ini berarti ada keberatan yang serius dari masyarakat internasional.
Drooglever menyusun bukunya berdasarkan penelitian di Belanda, PBB, arsip nasional Amerika Serikat, narasumber, para saksi sejarah dari Papua, Belanda dan saksi sejarah lainnya. Ia menggunakan bahan-bahan dokumentasi yang sebelumnya hampir tak pernah dipakai.
Bab pertama dari buku ini lebih banyak tentang sejarah kontak Orang Papua sampai dengan masa Perang Dunia II. Pokok penting dalam bab ini adalah bagian Barat New Guinea secara perlahan dan pasti masuk ke dalam lingkaran pengaruh kekuasaan pusat kolonial Belanda di Batavia.
Kepentingan Batavia, yang merupakan ibukota pemerintahan Hindia Belanda bukanlah soal komersial dan keuntungan ekonomi. Sebab pada waktu itu tanah Orang New Guinea dianggap tidak memiliki potensi ekonomi dan kurang menarik bagi sektor komersial. Namun yang menjadi alasan utama keterlibatan Belanda terhadap New Guinea adalah lebih bersifat politik/strategis untuk memantapkan batas Timur pengaruhnya di Asia.
Sedangkan dalam bab dua, New Guinea, dalam banyak hal memiliki sejarah penjajahan yang berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Hanya sebagian wilayah New Guinea saja yang dijajah Jepang. Pengaruh Belanda terus berlangsung di daerah Selatan Papua dan wilayah Pedalaman. Pendudukan Jepang hanya berlangsung singkat dan pulau-pulau ini sudah dibebaskan tentara pendudukan Sekutu Amerika Serikat pada pertengahan 1944.
Bab tiga membahas agak terperinci soal kebijakan yang telah diambil Pemerintah Belanda mengenai peristiwa-peristiwa sejarah ini dan ada hubungannya dengan New Guinea. Diuraikan pula konsep hak penentuan nasib sendiri yang merupakan kunci kebijakan Belanda Hak penentuan nasib sendiri dikembangkan pada awal Perang Dunia II, khususnya Amerika Serikat, sebagai salah satu tujuan perang.
Lebih aneh lagi anggapan bahwa Orang Papua belum dapat menentukan nasib mereka sendiri langsung menciptakan masalah, karena alasan itu tidak ditetapkan melalui cara-cara yang demokratis. Pemerintah dan Parlemen Belanda berupaya untuk meluruskan masalah ini dengan cara memasukannya langsung ke dalam persetujuan, tetapi ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Indonesia. Karena itu kedua belah pihak membutuhkan Perjanjian Linggardjati, 25 Maret 1947, walaupun sebenarnya belum ada kata sepakat soal tanah Orang New Guinea Barat.
Bab empat membeberkan tentang pentingnya penentuan nasib sendiri dan sejumlah alasan lainnya. Masing-masing alasan itu secara terpisah dan tidak kuat, sehingga bisa menimbulkan resiko tidak tercapainya persetujuan Belanda dengan Indonesia.
Lepas dari kelebihan maupun kekurangan, dengan hasil penelitian ini telah membuktikan Pemerintah Belanda serius menelaah kekeliruan yang telah diambil selama memegang kendali wilayah New Guinea.
Profesor Drooglever dari Institut Kesejarahan Belanda (Instituut voor Nederlands Geschiedenis) yang bermarkas di Den Haag, dalam penelitiannya menegaskan bahwa warga Papua tidak mendapatkan proses adil untuk memilih merdeka dalam referendum tersebut. Referendum Tahun 1969 oleh Drooglever disebut sebagai sebuah manipulasi besar yang menjadikan Papua sebagai bagian dari wilayah Indonesia.
Pada awal 1960-an, Belanda dan Indonesia sepakat bahwa Warga Papua akan mendapat kesempatan untuk menentukan pilihan tentang penyatuan dengan Indonesia.
Selanjutnya, Drooglever menyimpulkan bahwa ketika itu, Soeharto hanya mau bekerja sama jika hasil referendum menguntungkan Jakarta. Satu kelompok wakil Warga Papua terpilih, berjumlah sekitar 1.000 orang yang kemudian dikenal dengan nama Dewan Musyawarah Pepera (DMP).
Dolf Faidiban, mantan pejabat dan Sekda Biak Numfor dalam buku berjudul “Bakti Pamong Praja Papua” menyebutkan , dalam kondisi politik yang tak menentu di Papua jelang Pepera 1969 muncul Orang Papua yang menamakan diri pejuang Papua Indonesia Raya. Mereka dicatat dan dianggap sebagai pejuang, kemudian dipilih Indonesia untuk duduk dalam DMP, 1969.
Mewakili Orang Papua dalam DMP, kata Dolf, bukanlah orang-orang baik, mungkin ada satu dua yang baik, tetapi sebagian besar dari mereka yang ditunjuk itu tadinya menjadi informan.
Peranan militer di Papua juga semakin kuat saat memasuki pelaksanaan Pepera 1969.Pangdam XVII Cenderawasih (Alm) Brigjend TNI Sarwo Edi Wibowo, mertua Presiden SBY, dikenal sangat tegas dalam pelaksanaan Pepera 1969. Dolf Faidiban juga mengutip ‘surat rahasia’ Komandan Resort Militer 17 Merauke, Kol. Blego Sumarto. Nomor surat R-24/1969 perihal Pengamanan Pepera, Tanggal 8 Mei 1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku Anggota Muspida. Kesimpulan dari surat ini, menurut Dolf, Pepera secara mutlak harus dimenangkan, baik secara wajar ataupun tidak wajar.
Penelitian Prof. Dr. Drooglever merupakan karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Jika dianggap tidak benar harus pula dikoreksi dengan cara-cara ilmiah dan bukan menutup sebuah kesalahan sejarah masa lalu Orang Papua.
Saat pertama kali diluncurkan pada seminar Act of Free Choice di Den Haag, 15 November 2005, Drooglever menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan Pepera 1969 adalah suatu manipulasi sejarah Orang Papua.
Buku yang diterjemahkan oleh Dr. Johanes Riberu setebal 300 lebih halaman, ternyata laris manis di toko buku terbesar di Jakarta. “Saya heran buku ini bisa habis di pasaran, termasuk Jakarta,” ujar Dr. Benny Giay pada JUBI usai peluncuran buku “Memanusiakan Manusia” belum lama ini di Kotaraja, Jayapura.
Menurut Giay, buku ini sebenarnya berisikan banyak pengalaman Orang Papua saat pelaksanaan Pepera Tahun 1969. Baginya, kalau buku terjemahan Drooglever laris karena kebutuhan pengetahuan pembaca tak soal, tetapi sangat disayangkan jika ternyata diborong oleh institusi tertentu sambil tertawa lepas. “Tapi, yang jelas kitorang harus respon terhadap buku-buku yang memuat sejarah dari Orang Papua,” kata Benny Giay mengingatkan generasi muda Papua untuk terus berkarya dalam meningkatkan kemampuan menulis.
Buku setebal 700 halaman dengan 14 bab merupakan hasil penelitian dari Prof. Drooglever pada Tahun 1999 atas perintah Menlu Jozias van Aartsen, yang diamanatkan pula oleh Parlemen Belanda. Penugasan kepada Profesor Sejarah itu tidak lepas dari suatu gerakan politik Belanda, terutama Partai Gereformeed Politiek Verbond atau Christen Unie.
Bagi Dr. Karl Phill Erari, ada dua konteks yang mendorong Prof. Drooglever melakukanpenelitian. Pertama, karena Kongres II Rakyat Papua, Mei 1999, mendesak perlunya pelurusan sejarah, karena Rakyat Papua merasa jalan sejarahnya menuju kemerdekaan sebagai suatu bangsa telah dibelokkan oleh kepentingan politik Jakarta.
Bahkan (Alm) Theys Hiyo Eluay berkali-kali dalam pernyataan politiknya selalu mengumandangkan perlunya meluruskan sejarah Orang Papua yang telah dibengkokkan dan perlu dilakukan peninjauan kembali.
Kedua, tampilnya Gus Dur sebagai Pemimpin Indonesia yang lebih demokratis.
Drooglever menyebut Sekjen PBB waktu itu, U Thant, dalam laporan akhirnya kepada Majelis Umum PBB, tak punya pilihan lain kecuali menyimpulkan Pepera 1969 adalah suatu penentuan pendapat rakyat. Dijelaskan, sebetulnya dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962 diputuskan suatu proses plebisit, tapi belakangan diubah menjadi the act of free choice, yakni hak untuk menentukan nasib Papua. Masalahnya ialah Ortiz Sans, yang ditugaskan PBB sebagai pengawas Pepera, meragukan the act of free choice itu dapat dilakukan oleh penguasa Indonesia. Artinya, apakah benar-benar sesuai dengan azas yang diakui dunia internasional. Ortiz Sans menyatakan proses itu bukan suatu act of free choice. Jadi dia mengambil jarak terhadap apa yang terjadi di Papua dan sikap itu juga diambil oleh Sekjen PBB, U Thant. Ini berarti ada keberatan yang serius dari masyarakat internasional.
Drooglever menyusun bukunya berdasarkan penelitian di Belanda, PBB, arsip nasional Amerika Serikat, narasumber, para saksi sejarah dari Papua, Belanda dan saksi sejarah lainnya. Ia menggunakan bahan-bahan dokumentasi yang sebelumnya hampir tak pernah dipakai.
Bab pertama dari buku ini lebih banyak tentang sejarah kontak Orang Papua sampai dengan masa Perang Dunia II. Pokok penting dalam bab ini adalah bagian Barat New Guinea secara perlahan dan pasti masuk ke dalam lingkaran pengaruh kekuasaan pusat kolonial Belanda di Batavia.
Kepentingan Batavia, yang merupakan ibukota pemerintahan Hindia Belanda bukanlah soal komersial dan keuntungan ekonomi. Sebab pada waktu itu tanah Orang New Guinea dianggap tidak memiliki potensi ekonomi dan kurang menarik bagi sektor komersial. Namun yang menjadi alasan utama keterlibatan Belanda terhadap New Guinea adalah lebih bersifat politik/strategis untuk memantapkan batas Timur pengaruhnya di Asia.
Sedangkan dalam bab dua, New Guinea, dalam banyak hal memiliki sejarah penjajahan yang berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Hanya sebagian wilayah New Guinea saja yang dijajah Jepang. Pengaruh Belanda terus berlangsung di daerah Selatan Papua dan wilayah Pedalaman. Pendudukan Jepang hanya berlangsung singkat dan pulau-pulau ini sudah dibebaskan tentara pendudukan Sekutu Amerika Serikat pada pertengahan 1944.
Bab tiga membahas agak terperinci soal kebijakan yang telah diambil Pemerintah Belanda mengenai peristiwa-peristiwa sejarah ini dan ada hubungannya dengan New Guinea. Diuraikan pula konsep hak penentuan nasib sendiri yang merupakan kunci kebijakan Belanda Hak penentuan nasib sendiri dikembangkan pada awal Perang Dunia II, khususnya Amerika Serikat, sebagai salah satu tujuan perang.
Lebih aneh lagi anggapan bahwa Orang Papua belum dapat menentukan nasib mereka sendiri langsung menciptakan masalah, karena alasan itu tidak ditetapkan melalui cara-cara yang demokratis. Pemerintah dan Parlemen Belanda berupaya untuk meluruskan masalah ini dengan cara memasukannya langsung ke dalam persetujuan, tetapi ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Indonesia. Karena itu kedua belah pihak membutuhkan Perjanjian Linggardjati, 25 Maret 1947, walaupun sebenarnya belum ada kata sepakat soal tanah Orang New Guinea Barat.
Bab empat membeberkan tentang pentingnya penentuan nasib sendiri dan sejumlah alasan lainnya. Masing-masing alasan itu secara terpisah dan tidak kuat, sehingga bisa menimbulkan resiko tidak tercapainya persetujuan Belanda dengan Indonesia.
Lepas dari kelebihan maupun kekurangan, dengan hasil penelitian ini telah membuktikan Pemerintah Belanda serius menelaah kekeliruan yang telah diambil selama memegang kendali wilayah New Guinea.
Profesor Drooglever dari Institut Kesejarahan Belanda (Instituut voor Nederlands Geschiedenis) yang bermarkas di Den Haag, dalam penelitiannya menegaskan bahwa warga Papua tidak mendapatkan proses adil untuk memilih merdeka dalam referendum tersebut. Referendum Tahun 1969 oleh Drooglever disebut sebagai sebuah manipulasi besar yang menjadikan Papua sebagai bagian dari wilayah Indonesia.
Pada awal 1960-an, Belanda dan Indonesia sepakat bahwa Warga Papua akan mendapat kesempatan untuk menentukan pilihan tentang penyatuan dengan Indonesia.
Selanjutnya, Drooglever menyimpulkan bahwa ketika itu, Soeharto hanya mau bekerja sama jika hasil referendum menguntungkan Jakarta. Satu kelompok wakil Warga Papua terpilih, berjumlah sekitar 1.000 orang yang kemudian dikenal dengan nama Dewan Musyawarah Pepera (DMP).
Dolf Faidiban, mantan pejabat dan Sekda Biak Numfor dalam buku berjudul “Bakti Pamong Praja Papua” menyebutkan , dalam kondisi politik yang tak menentu di Papua jelang Pepera 1969 muncul Orang Papua yang menamakan diri pejuang Papua Indonesia Raya. Mereka dicatat dan dianggap sebagai pejuang, kemudian dipilih Indonesia untuk duduk dalam DMP, 1969.
Mewakili Orang Papua dalam DMP, kata Dolf, bukanlah orang-orang baik, mungkin ada satu dua yang baik, tetapi sebagian besar dari mereka yang ditunjuk itu tadinya menjadi informan.
Peranan militer di Papua juga semakin kuat saat memasuki pelaksanaan Pepera 1969.Pangdam XVII Cenderawasih (Alm) Brigjend TNI Sarwo Edi Wibowo, mertua Presiden SBY, dikenal sangat tegas dalam pelaksanaan Pepera 1969. Dolf Faidiban juga mengutip ‘surat rahasia’ Komandan Resort Militer 17 Merauke, Kol. Blego Sumarto. Nomor surat R-24/1969 perihal Pengamanan Pepera, Tanggal 8 Mei 1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku Anggota Muspida. Kesimpulan dari surat ini, menurut Dolf, Pepera secara mutlak harus dimenangkan, baik secara wajar ataupun tidak wajar.
Penelitian Prof. Dr. Drooglever merupakan karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Jika dianggap tidak benar harus pula dikoreksi dengan cara-cara ilmiah dan bukan menutup sebuah kesalahan sejarah masa lalu Orang Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar