Epistemologi
Epistemlogi adalah suatu cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Etimologis, istilah epistemology berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu- episteme (pengetahuan) dan logos (kata,pikiran,percakapan,atau ilmu). Jadi, epistemology berarti kata,pikiran,percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan.
Secara tradisional, yang menjadi pokok persoalan dalam epistemology ialah sumber asal mula,dan sifat dasar pengetahuan; bidang,batas,dan jangkauan pengetahuan ; serta validitas dan realiabilitas (reability) dari berbagai klaim terhadap pengetahuan. Oleh sebab itu,rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemology adalah sebagai berikut: apakah pengetahuan itu ? apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan,pengalaman,atau akal budi? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti atau hanya merupakan dugaan ?
A. Tentang pengetahuan
Jika di katakana bahwa seorang mengetahui sesuatu, itu berarti ia memiliki pengetahuan tentan sesuatu itu. Dengan demikian, pengetahuan adalah suatu kata yangdi gunakan untuk menunjukan kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Apa bila si paimun yang baru pulang dari Tokyo menceritakan bahwa di Tokyo itu kota yang sangat besar,jalan rayanya lebar-lebar,hamper semua bangunannya bertingkat,warga kotanya dan sebagainya. Semua di tuturkannya adalah pengetahuan tentang Tokyo. Kita mengetahui bahwa satu di tambah satu sama dengan dua,sepuluh dikali sepuluh adalah seratus. Kita pun mengetahui bahwa ada bermacam warna : merah,putih ,hitam,dan sebagainya. Kita juga mengetahui bahwa rumah,meja,sungai,laut,gunung,dan manusia merupakan bagian dari lingkungan hidup kita. Semua yang kita ketahui tentang sesuatu adalah pengetahuan.
Pengetahuan senantiasa memiliki subjek, yakni mengetahui tanpa ada yang mengetahui tidak mungkin ada pengetahuan. Jika ada subjek pasti ada pula objek, yakni sesuatu yang uhwalnya kita ketahui atau hendak kita ketahui. Tanpa objek tidak mungkin ada pengetahuan.
Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran karena demi mencapai kebenaranlah pengetahuan itu eksis. Kebenaran ialah kesesuain pengetahuan dengan objeknya. Ketidaksesuain pengetahuan dengan objeknya disebut kekeliruan. Suatu objek yang ingin di ketahui senantiasa memiliki banyak aspek yang amat sulit di ungkapkan secara serentak. Kenyataanya, manusia hanya mengetahui beberapa aspek dari suatu objek itu, sedangkan lainnya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian, jelas bahwa sulit uuuntuk mencapai kebenaran yang lengkap dari objek tertentu, apalagi mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan objek pengetahuan.
Pengetahuan dapat di bagi ke dalam tiga jenis sebagai berikut:
1. Pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan nir-ilmiah dan pengetahuan pra-ilmiah. Pengetahuan nir-ilmiah adalah hasil pencerapan dengan indra terhadap objek yang di jumpai dalam kehidupan sehari-hari termasuk dan termasuk pula pengetahuan intutif. Pengetahuan pra-ilmiah merupakan hasil pencerapan indrawi dan pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran rasional yang tersedia untuk diuji lebih lanjut kebenaranya dengan metode-metode ilmiah.
2. Pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode yang lebih menjamin kepastian kebenaran yang dicapai. Pengetahuan yang demikian dikenal juga dengan sebuan science.
3. Pengetahuan filasafati (philosophical knowledge). Pengetahuan filasafati diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman,penafsiran,spekulasi,penilaian kritis,dan pemikiran-pemikiran yang logis,analitis,dan sistematis. Pengetahuan filasafati adalah pengetahuan yang berkaitan dengan hakikat,prinsip,dan asas dari seluruh realitas yang dipersoalkan selaku objek yang hendak diketahui.
.
B. Sumber-sumber Pengetahuan
Apakah sebenarnya yang menjadi sumber pengetahuan? Para filsuf memberi jawaban yang berbeda-beda terhadap pertanyaan itu. Plato , Descartes, Spinoza, dan Leibniz mengatakan bahwa akal budi atau rasio adalah sumber utama bagi pengetahuan,bahkan ada yang secara ekstrem menekankan bahwa akal budi adalah satu-satunya sumber bagi pengetahuan. Para filsuf yang mendewakan akal budi itu berpendapat bahwa setiap keyakinan atau pandangan yang bertentangan dengan akal budi tidak mungkin benar. Bagi mereka, pikiran memiliki fungsi yang amat penting dalam proses mengetahui.
Beberapa filsuf lainnya, seperti Bacon,Hobbes,dan Locke, menyatakan bahwa bukan akal budi,melainkan pengalaman indrawilah yang menjadi sumber utama bagi pengetahuan. Kendati memang ada perbedaan pandangan di antara mereka sendiri, mereka semua sependapat bahwa pada dasarnya pengetahuan bergantung pada panca indra manusia serta pengalaman-pengalaman indranya, dan bukan pada rasio. Mereka juga mengklaim bahwa seluruh ide dan konsep manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman. Tidak ada ide atau konsep yang di dalam dirinya sendiri bersifat aposteriori. Jika benar bahwa seluruh ide dan konsep manusia bergantung pada pengalaman, maka sesungguhnya maka sesungguhnya seluruh pengetahuan manusia itu pun bersifat aposteriori. Akan tetapi, para filsuf itu mengakui juga bahwa tidak semua pengetahuan manusia secara lansung bergantung pada pengalaman, melainkan apabila di telusuri lebih lanjud, pada akhirnya akan terlihat bahwa pengetahuan sesungguhnya berasal dari pengalaman.
John Locke mengatakan seluruh ide manusia berasal secara lansung dari sensasi dan lewat refleksi terhadap ide-ide senstif itu sendiri. Tidak ada suatu apapun juga dalam akal budi manusia yang tidak berasal dari pengalaman indrawi.
Imanuel Kant,yang filsafatnya tidak sealiran dengan John Locke,juga berpendapat bahwa kendati seluruh ide dan konsep manusia bersifat apriori sehingga ada kebenaran apriori, ide dan konsep ini hanya dapat di aplikasikan apa bila ada pengalaman. Tanpa pengalaman, seluruh ide dan konsep serta kebenaran apriori tidak akan pernah dapat diaplikasikan. Dengan kata lain, Kant mengatakan bahwa akal budi manusia hanya dapat berfungsi sebagaimana mestinya apa bila di hubungkan dengan pengalaman. Dengan demikian, Kant memperdamaikan kedua pandangan yang selama itu senantiasa saling bertentangan.
C. Adakah pengetahuan yang benar dan pasti
Para penganut skeptisisme pada umumnya sependapat bahwa segala sesuatu, termasuk yang di anggap sudah pasti “, dapat saja di sangsikan kebenarannya. Untuk membenarkan diri, secara ekstrem mereka berpegang pada ungkapan sokrates yang mengatakan bahwa apa yang saya ketahui ialah saya tidak mengetahui apa-apa (all that i know is that I know nothing). Dengan demikian, mereka hendak menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada pengetahuan yang pasti dan mutlak.
Pyrrho (365-257 SM) yang di kenal sebagai pencipta skeptisisme sistematis pertama (yang tak pernah menulis apapun) dan Timon dari Phlius (320-230 SM) murid Phyrrho, serta Sextus Empiricus (abad 2 M ), penulis Outlines of Phyrrhonism, menyatakan bahwa kita harus senantiasa mnyangsikan segala sesuatu yang di anggap benar karena ssesungguhnya tidak ada yang benar-benar dapat diketahui dengan pasti. Pengalaman menunjukan bahwa ada banyak pandangan yang sering kali saling bertentangan, tetapi tidak pernah dapat di tentukan mana yang benar dan yang mana salah karena tidak ada criteria yang dapat digunakan untuk itu.
John Wilkins (1614-1672) dan Joseph Glanvil (1639-1680), yang keduanya adalah anggota awal dari the royal society, the british scientific organization, membedakan antara pengetahuan tertentu yang sempurna (infallibly certain knowledge) dan pengetahuan tertentu yang sudah pasti (indubitably certain knowledge). Mereka berpendapat bahwa tidak seorang pun manusia dapat meraih pengetahuan yang sempurna karena kemampuan manusia telah cacat dan rusak. Adapun pengetahuan tertentu yang telah pasti, misalnya matahari terbit dari timur setiap hari, api menghanguskan, terkena air basah,dan sebagainya. Merupakan pengetahuan yang tidak perlu di ragukan lagi.
David Hume (1711-1776) menyerang dasar-dasar pengetahuan empiris. Ia mengatakan bahwa tidak ada suatu generalisasi pengalaman yang dapat dibenarkan secara rasional. Demikian pula, proposisi mengenai pengalaman tidak perlu, karena seseorang dengan mudah akan dapat membayangkan suatu dunia dimana proposisi itu keliru. Sebagai contoh, “matahari akan terbit besok pagi “ adalah sebuah generalisasi dari pengalaman atau realitas. Akan tetapi hal itu sebenarnya tidak perlu karena kita dapat membayangkan suatu dunia yang mirip dunia kita yang mataharinya terbit besok pagi. Bagi Hume, generalisasi induktif sama sekali bukan suatu proses berpikir, melainkan sekedar mengharap bahwa hal yang sama akan berulang kembali dalam kondisi situasi yang sama.
Albert Camus ((1913-1960) melukiskan manusia yang berupaya mengukur sifat dan menakar makna dari sesuatu yang pada hakikatnya tak bermakna dan alam yang absurd dalam bukunya myth af Sisyphus mengenal betul seluruh keberadaannya dalam kondisi yang buruk dan amat menyedihkan. Ia tidak berharap untuk meraih kebenaran dan juga tidak pernah mengantisipasi akhir dari segala pergumulannya. Bagi Camus, sesungguhnya tidak ada makna, tidak ada pngetahuan yang benar secara objektif.dan juga tidak ada nilai objektif.
Pandangan-pandangan para pemikir yang menyangsikan segala sesuatu, termasuk yang dianggap oleh banyak orang sebagai yang sudah pasti kebenarannya, sejak semula disanggah oleh pemikir-pemikir lainnya. Sebagai contoh adalah Agustinus dan Thomas Reid (Penyanggah David Hume)
Augustinus (354-430) mengatakan bahwa ungkapan “manusia tidak dapat megetahui apa-apa” menunjukan bahwa ungkapan itu sendiri sudah merupakan suatu pengetahuan. Oleh sebab itu, bagi Augustinus pendapat filsuf yang dengan demiakian itu secara rasional tidak konsisten. Selanjutnya, Augustinus mengatakan bahwa jika ungkapan “manusia tidak mengetahui apa-apa” itu keliru atau salah, berarti tidak ada masalah. Apabila ungkapan itu benar, berarti ungkapan itu mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri (self contradictory) karena bagaimanapuun juga sekurang-kurangnya kita mengetahui dengan pasti tentang suatu hal. Yakni kita tahu bahwa kita tidak dapat mengetahui apa-apa.
Thomas Reid (1710-1796), yang hidup sezaman dengan David Hume, kendati memahami dan menghargai argument-argumen Berkeley dan Hume, menganggap bahwa koklusi hume keliru. Reid menyanggah preposisi central uhme yang mengatakan bahwa kepercayaan-kepercayaan kita yang sangat mendasar haruslah dibenarkan oleh argument-argumen rasional-filasafati itu sendiri. Reid mengatakan bahwa bukti-bukti rasional-filasafati yang dikehendaki Hume itu sesungguhnya tidak pantas dan tidak tepat. Ini karena argument-argumen rasional –filasafati itu sendiri akan terus menerus memerlukan argument-argumen rsional-filasafati sampai tak terbatas (ad invintum). Reid mengatakan pula bahwa kepercayaan-kepercayaan yang sangat mendasar itu tidaklah dilandaskan pada pra-anggapan yang membuka begitu saja. Melainkan justru mencerminkan kostitusi rasioanalitas kita,yang sanggup pula mengenal lewat intuisi. Kepercayaan-kepercayaan yang sangat mendasar itu menjadi landasan bagi seluruh pembuktian-pembuktian lain kendati dirinya sendiri tidak terbuktikan.
D. Kesahihan pengetahuan
Di dalam epistemology, ada beberapa teori kesahihan pengetahuan, antara lain teori kesahihan koherensi, teori kesahihan korespondensi, teori kesahihan pragmatis,teori kesahihan semantic,dan teori kesahihan logical yang berlebih-lebihan.
Teori kesahihan koherensi (coherence theory of truth ) menegaskan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan) diakui sah jika proposisi itu memiliki hubungan dengan gagasan –gagasan dari proposisi sebelumnya yang juga sah dan dapat dibuktikan dengan logis sesuai dengan ketentuan-ketentuan logika.
Teori kesahihan korespondensi/saling bersesuaian (correspondence theory of truth) mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu sahih apa bila proposisi bersesuaian dengan realitas yang menjadi objek pengetahuan itu. Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan kepastian indrawi. Dengan demikian,kesahihan pengetahuan itu dapat dibuktikan secara lansung.
Teori kesahihan pragmatis (pragmatical theory of truth) menegaskan bahwa pengetahuan itu sahih jikalau proposisinya memiliki konsekuensi-konsekuensi kegunaan atau benar-benar bermanfaat bagi yang memiliki pengetahuan itu. Teori kesahihan pragmatis adalah teori kesahihan yang telah dikenal secara tradisional.
Teori kesahihan semantic (semantic theory of truth) adalah teori yang menekankan arti dan makna suatu proposisi. Bagi teori kesahihan semantic,,proposisi harus menunjukan arti dan makna sesungguhnya yang mengacu kepada referen atau realitas dan bisa juga arti definitive dengan menunjukan cirri khas yang ada.
Teori kesahihan logical yang berlebih-lebihan (logical superfluity theory of truth) hendak menunjukan bahwa proposisi logis yang memiliki term berbeda tetapi berisi informasi sama tak perlu dibuktikan lagi,atau ia telah menjadi suatu logis yang berlebih-lebihan. Contoh: siklus adalah lingkaran atau lingkaran adalah bulatan dan sebagainya. Dengan demikian,proposisi lingkaran itu bulat tak perlu dibuktikan lagi kebenaranya.
Materi Presentasi Filsafat dan Dasar-Dasar Logika
Kelompok I
Tentang : Epistemologi
| |
Nama : | Maria Suryania Sah |
| |
| Roberto D.Koibur |
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
JAYAPURA 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar