MENGKRITISI GERAKAN MAHASISWA DI PAPUA
Oleh : Gustaf R.Kawer
A. Pengantar
Munculnya gerakan mahasiswa selama ini dianggap sebagai kekuatan moral masyarakat yang tak tertandingi, mahasiswa di gambarkan secara terpisah dari kelompok-kelompok elit birokrat dan elit politik. Tegasnya mahasiswa dianggap sebagai “intelektual resi” atau “ Orang suci “ yang bebas dari kepentingan.
Gerakan-gerakan mahasiswa di Indonesia yang dapat dipelajari sebagai kekuatan moral masyarakat yang tak tertandingi dimana mampu mengubah peta perpolitikan bangsa Indonesia lewat kekuatan moral, misalnya protes mahasiswa tahun 1966 yang berhasil melicinkan jalan bagi jatuhnya rezim orde lama Soekarno dan naiknya Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia; tahun 1974 mahasiswa melakukan demonstrasi menentang modal asing dan model pembangunan yang melahirkan kesenjangan, gerakan ini dikenal dengan “ Peristiwa Malari”
( Malapetaka 15 Januari ). Gerakan mahasiswa ini oleh rezim otoriter Soeharto dituduh “ Makar “ hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Begitu pula tahun 1998, terjadi demontrasi besar-besaran di Ibu Kota Negara Jakarta dan hampir diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berhasil menurunkan rezim otoriter Soeharto.
Gerakan-gerakan mahasiswa di Papua yang juga dapat di jadikan pelajaran yang baik tentang kekuatan moral gerakan mahasiswa, misalnya demontrasi mahasiswa yang meminta Komnas Ham hadir di Papua guna pengusutan pelanggaran Ham di Mapenduma, gerakan ini berakhir dengan dipenuhinya permintaan mahasiswa dengan hadirnya tim dari Komnas Ham di Jayapura dan Mapenduma; Gerakan mahasiswa tahun 1999 berupa demontrasi besar-besaran di Jayapura menolak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Pemekaran Propinsi Papua dan Pemekaran Kabupaten Puncak Jaya, Mimika, Sorong Selatan dan Kabupaten Paniai. Demonstrasi ini berakhir dengan di bekukan untuk sementara pemberlakuan UU No. 45 Tahun 1999;
Gerakan mahasiswa yang terakhir pada tahun 2004, dimana mahasiswa meminta supaya ada pemenuhan rasa keadilan bagi korban kasus pelanggaran HAM di Abepura/Abepura berdarah tahun 2000. Ini adalah contoh gerakan mahasiswa yang murni, tanpa di boncengi oleh kepentingan elit politik dan elit birokrat di Papua.
B. Disorientasi Gerakan Mahasiswa Di Papua
Mencermati gerakan-gerakan mahasiswa di Papua pasca jatuhnya rezim orde baru, gerakan mahasiswa mengalami kemunduran, jika dianalogikan dengan sebuah klub sepak bola yang dulunya di devisi utama, kini degradasi hingga kedevisi II (dua). Gerakan mahasiswa yang menjadi pembawa kekuatan moral masyarakat, menjadi bias sebagai pembawa kekuatan elit politik dan elit birokrat. Mahasiswa tidak lagi memperhatikan kesatuan visi dan aksi, tetapi mahasiswa menjadi alat kepentingan elit politik dan elit birokrat. Gerakan mahasiswa juga larut dalam kelompok-kelompok primodial sempit, terkesan juga gerakan mahasiswa ada faksi-faksi.
Gerakan-gerakan mahasiswa intern kampus diprakarsai oleh Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi, Senat Fakultas dan Himpunan Mahasiswa Jurusan sedangkan Gerakan Mahasiswa Ekstern kampus diprakarsai oleh Ikatan Mahasiswa atau organisasi yang menamakan diri gerakan mahasiswa. Akhir-akhir ini, ada istilah-istilah yang dipakai untuk menunjukkan keberpihakan organisasi-organisai mahasiswa tersebut, misalnya ada penamaan “ Senat Dok II “, dinamakan ini karena ada keberpihakan pada kepentingan elit-elit birokrat tertentu di Propinsi Papua; adanya kelompok mahasiswa pro otonomi khusus Papua, dinamakan ini karana ada keberpihakan kelompok ini dalam mendukung pelaksanaan otonomi, begitu pula kelompok pro pemekaran, kelompok ini mendukung pemekaran propinsi Papua dan beberapa kabupaten. Ada juga ketika terjadi pemilu organisasi mahasiswa sudah terkesan faksional, menjadi tim sukses salah satu Capres.
Ini contoh dari sekian banyak gerakan mahasiswa di Papua yang tidak lagi menjadi pembawa kekuatan moral rakyat yang mampu merubah kondisi sosial politik yang terjadi di daerahnya tetapi larut dalam kepentingan elit-elit birokrat dan elit-elit politik. Gerakan mahasiswa di Papua yang murni sebagai kekuatan moral masyarakat menjadi minoritas, mereka ini yang sering berbicara tentang penegakkan hukum dan ham, juga menyoroti pemerintahan yang bersih.
C. Merekonstruksi Visi Gerakan Mahasiswa Di Papua
Melihat kondisi ini, maka hal mutlak yang harus dilakukan adalah merekonsruksi visi gerakan, dengan cara :
Pertama : Meninjau/merumuskan kembali fungsi dan visi gerakan dalam masing-masing organisasi ( Senat Mahasiswa PT dan Fakultas, Himpunan Mahasiswa Jurusan , Ikatan Mahasiswa dllnya). Dalam arti, eksistensi gerakan mahasiswa sebagai sebuah identitas harus jelas.
Kedua : Melakukan pengkaderan secara kontinyu merupakan hal penting yang juga harus dilakukan guna kesinambungan gerakan. Dalam pengkaderan ada pemberdayaan, ada transfer gerakan kepada individu-individu dalam organisasi tersebut.
Ketiga : Kesatuan aksi merupakan hal yang penting sebagai implementasi gerakan mahasiswa pembawa kekuatan moral rakyat yang murni tanpa kepentingan apapun. Dengan kesatuan aksi mahasiswa dapat merubah kondisi sosial politik Papua kearah yang lebih kondusif bagi perkembangan demokrasi. Aksi-aksi ini dapat berupa diskusi-diskusi intern, seminar-seminar bagi penguatan kapasitas anggota dan aksi-aksi advokasi masyarakat .
D. Penutup
Gerakan mahasiswa yang baik adalah gerakan mahasiswa yang memperhatikan kesatuan visi sebagai kekuatan moral masyarakat tanpa kepentingan-kepentingan elit politik dan elit birokrat, gerakan mahasiswa yang memperhatikan pengkaderan dan yang terakhir gerakan mahasiswa yang memperhatikan kesatuan aksi yang mampu mengubah kondisi sosial politik didaerahnya kearah yang lebih demokratis.
Referensi
1. Mahasiswa Bergerak, Belajar dari perlawanan dan perjuangan internasional 1960-an, YLBHI, April 1999
2. Gerakan Mahasiswa dan Pekerja, LBH Bandung, Oktober 1997
3. Merekonsruksi Visi Gerakan Zacky Khairul Umum, Cepos 03 Januari 2005
Oleh : Gustaf R.Kawer
A. Pengantar
Munculnya gerakan mahasiswa selama ini dianggap sebagai kekuatan moral masyarakat yang tak tertandingi, mahasiswa di gambarkan secara terpisah dari kelompok-kelompok elit birokrat dan elit politik. Tegasnya mahasiswa dianggap sebagai “intelektual resi” atau “ Orang suci “ yang bebas dari kepentingan.
Gerakan-gerakan mahasiswa di Indonesia yang dapat dipelajari sebagai kekuatan moral masyarakat yang tak tertandingi dimana mampu mengubah peta perpolitikan bangsa Indonesia lewat kekuatan moral, misalnya protes mahasiswa tahun 1966 yang berhasil melicinkan jalan bagi jatuhnya rezim orde lama Soekarno dan naiknya Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia; tahun 1974 mahasiswa melakukan demonstrasi menentang modal asing dan model pembangunan yang melahirkan kesenjangan, gerakan ini dikenal dengan “ Peristiwa Malari”
( Malapetaka 15 Januari ). Gerakan mahasiswa ini oleh rezim otoriter Soeharto dituduh “ Makar “ hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Begitu pula tahun 1998, terjadi demontrasi besar-besaran di Ibu Kota Negara Jakarta dan hampir diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berhasil menurunkan rezim otoriter Soeharto.
Gerakan-gerakan mahasiswa di Papua yang juga dapat di jadikan pelajaran yang baik tentang kekuatan moral gerakan mahasiswa, misalnya demontrasi mahasiswa yang meminta Komnas Ham hadir di Papua guna pengusutan pelanggaran Ham di Mapenduma, gerakan ini berakhir dengan dipenuhinya permintaan mahasiswa dengan hadirnya tim dari Komnas Ham di Jayapura dan Mapenduma; Gerakan mahasiswa tahun 1999 berupa demontrasi besar-besaran di Jayapura menolak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Pemekaran Propinsi Papua dan Pemekaran Kabupaten Puncak Jaya, Mimika, Sorong Selatan dan Kabupaten Paniai. Demonstrasi ini berakhir dengan di bekukan untuk sementara pemberlakuan UU No. 45 Tahun 1999;
Gerakan mahasiswa yang terakhir pada tahun 2004, dimana mahasiswa meminta supaya ada pemenuhan rasa keadilan bagi korban kasus pelanggaran HAM di Abepura/Abepura berdarah tahun 2000. Ini adalah contoh gerakan mahasiswa yang murni, tanpa di boncengi oleh kepentingan elit politik dan elit birokrat di Papua.
B. Disorientasi Gerakan Mahasiswa Di Papua
Mencermati gerakan-gerakan mahasiswa di Papua pasca jatuhnya rezim orde baru, gerakan mahasiswa mengalami kemunduran, jika dianalogikan dengan sebuah klub sepak bola yang dulunya di devisi utama, kini degradasi hingga kedevisi II (dua). Gerakan mahasiswa yang menjadi pembawa kekuatan moral masyarakat, menjadi bias sebagai pembawa kekuatan elit politik dan elit birokrat. Mahasiswa tidak lagi memperhatikan kesatuan visi dan aksi, tetapi mahasiswa menjadi alat kepentingan elit politik dan elit birokrat. Gerakan mahasiswa juga larut dalam kelompok-kelompok primodial sempit, terkesan juga gerakan mahasiswa ada faksi-faksi.
Gerakan-gerakan mahasiswa intern kampus diprakarsai oleh Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi, Senat Fakultas dan Himpunan Mahasiswa Jurusan sedangkan Gerakan Mahasiswa Ekstern kampus diprakarsai oleh Ikatan Mahasiswa atau organisasi yang menamakan diri gerakan mahasiswa. Akhir-akhir ini, ada istilah-istilah yang dipakai untuk menunjukkan keberpihakan organisasi-organisai mahasiswa tersebut, misalnya ada penamaan “ Senat Dok II “, dinamakan ini karena ada keberpihakan pada kepentingan elit-elit birokrat tertentu di Propinsi Papua; adanya kelompok mahasiswa pro otonomi khusus Papua, dinamakan ini karana ada keberpihakan kelompok ini dalam mendukung pelaksanaan otonomi, begitu pula kelompok pro pemekaran, kelompok ini mendukung pemekaran propinsi Papua dan beberapa kabupaten. Ada juga ketika terjadi pemilu organisasi mahasiswa sudah terkesan faksional, menjadi tim sukses salah satu Capres.
Ini contoh dari sekian banyak gerakan mahasiswa di Papua yang tidak lagi menjadi pembawa kekuatan moral rakyat yang mampu merubah kondisi sosial politik yang terjadi di daerahnya tetapi larut dalam kepentingan elit-elit birokrat dan elit-elit politik. Gerakan mahasiswa di Papua yang murni sebagai kekuatan moral masyarakat menjadi minoritas, mereka ini yang sering berbicara tentang penegakkan hukum dan ham, juga menyoroti pemerintahan yang bersih.
C. Merekonstruksi Visi Gerakan Mahasiswa Di Papua
Melihat kondisi ini, maka hal mutlak yang harus dilakukan adalah merekonsruksi visi gerakan, dengan cara :
Pertama : Meninjau/merumuskan kembali fungsi dan visi gerakan dalam masing-masing organisasi ( Senat Mahasiswa PT dan Fakultas, Himpunan Mahasiswa Jurusan , Ikatan Mahasiswa dllnya). Dalam arti, eksistensi gerakan mahasiswa sebagai sebuah identitas harus jelas.
Kedua : Melakukan pengkaderan secara kontinyu merupakan hal penting yang juga harus dilakukan guna kesinambungan gerakan. Dalam pengkaderan ada pemberdayaan, ada transfer gerakan kepada individu-individu dalam organisasi tersebut.
Ketiga : Kesatuan aksi merupakan hal yang penting sebagai implementasi gerakan mahasiswa pembawa kekuatan moral rakyat yang murni tanpa kepentingan apapun. Dengan kesatuan aksi mahasiswa dapat merubah kondisi sosial politik Papua kearah yang lebih kondusif bagi perkembangan demokrasi. Aksi-aksi ini dapat berupa diskusi-diskusi intern, seminar-seminar bagi penguatan kapasitas anggota dan aksi-aksi advokasi masyarakat .
D. Penutup
Gerakan mahasiswa yang baik adalah gerakan mahasiswa yang memperhatikan kesatuan visi sebagai kekuatan moral masyarakat tanpa kepentingan-kepentingan elit politik dan elit birokrat, gerakan mahasiswa yang memperhatikan pengkaderan dan yang terakhir gerakan mahasiswa yang memperhatikan kesatuan aksi yang mampu mengubah kondisi sosial politik didaerahnya kearah yang lebih demokratis.
Referensi
1. Mahasiswa Bergerak, Belajar dari perlawanan dan perjuangan internasional 1960-an, YLBHI, April 1999
2. Gerakan Mahasiswa dan Pekerja, LBH Bandung, Oktober 1997
3. Merekonsruksi Visi Gerakan Zacky Khairul Umum, Cepos 03 Januari 2005